[icon_box title=“@DaruratSiroh“ icon=” icon-instagram” image=”” icon_position=”left” border=”0″ link=”https://www.instagram.com/daruratsiroh/” target=”_blank” animate=”” class=””]Follow @DaruratSiroh – Literatur fakta sejarah dunia dengan sudut pandang Netral tanpa negatif thinking – إنا فتحنا لك فتحا مبينا.[/icon_box]
Struktur sosial masyarakat Ustmani di era menjelang kejatuhannya diiringi dengan masalah struktur sosial yang jauh dari sunnah. Masyarakat Ustmani terbagi dalam 2 kategori berbeda. Pertama komunitas keagamaan (millet), sedengkan kelompok kedua dibagi berdasarkan hubungan mereka dengan kekuasaan politik. Kelompok kedua ini terbagi menjadi dua kelas sosial, yaitu militer (askeri) atau kelas penguasa (ruling class) dan masyarakat biasa (reaya).
Problem Kejatuhan Imprerium Ustmani ditandai dengan perubahan simbol simbol sosial yang menjauhi ajaran Islam. Dalam ajaran Islam kelas seseorang hanya dibedakan berdasarkan Ketaqwaannya dan sumbangsihnya terhadap Islam, sebagaimana telah dibangun pondasi tersebut pada era ke-khalifahan Ummar Ibn Khattab r.a
Tapi out of the track alias keluar jalur dari tatanan struktur sosial yang sempurna, dimulai sebelum abad XIX M lewat salah satu simbol sosial yakni model berpakaian (fashion). Fashion saat itu HARUS DIATUR dengan hukum ulil amri / pemerintah. Lucunya bukan pakaian dalam menjaga agar tetap sesuai syariat melainkan membedakan antara pakaian pejabat, dengan masyarakat umum, bahkan diantara masyarakat umum itu sendiri.
Konsepsi fashion mulai ditetapkan Sultan Sulaiman (1520-1566) dan hukum ini ternyata ditakdirkan berlangsung cukup lama hingga 150 tahun lamanya. Konsep fashion ini dimaksudkan untuk mempertahankan legitimasi status quo. Ada kegalauan dari kelompok sosial yang telah mapan sebelumnya, bahwa kedudukan, dan legitimasi mereka akan tergeser.