Sesungguhnya kita diperbolehkan memilih pemimpin yang bukan muslim. Tentunya setelah kita yakin, pemimpin dapat berlaku adil, bijaksana, amanah, tidak zalim dan kriteria lainnya..
Namun dengan CATATAN TEGAS, Kita tidak berada di lingkungan yang mayoritas Muslim. Ayatnya Al-maidah: 54 – 58
Syubhat Memilih Pemimpin Non Muslim Di Wilayah Mayoritas Muslim
Boleh jadi kita sedari kecil sudah dibiasakan berhukum secara sekuler, bahkan ilmu yang didapat pun sekuler. Sehingga objektivitas kita pun terganggu. Akibatnya kita jadi permisif…monggo saja ..legowo memilih pemimpin non muslim
Menjawab beberapa syubhat dari orang yang membolehkan memilih pemimpin dari orang kafir ataupun muslim namun liberal atau juga sekuler sangatlah mudah, bisa dirangkum dalam beberapa poin berikut ini…
Tidak terikat dengan ke-khususan waktu. Para ulama ahli tafsir dan ahli ushul fikih telah mengemukakan kaidah baku yang sangat masyhur. Bahwa “yang menjadi standar sebuah nash adalah keumuman lafalnya, bukan kekhususan sabab (nuzul/wurud)-nya“.
Maksud dari kaidah ini, bahwa setiap nash yang datang dari Al Qur’an maupun Hadits, pada asalnya berlaku umum, tidak hanya berlaku pada kasus yang menjadi sebab nash itu datang atau diturunkan.
Contoh sederhananya adalah nash yang diturunkan karena meninggalnya para syuhada di perang uhud, juga berlaku untuk para syuhada di peperangan lainnya.
Dan kita tidak boleh mengkhususkan nash tersebut untuk para syuhada uhud, selama nashnya bermakna umum.
Sehingga asbabun nuzul sebuah ayat atau asbabul wurud sebuah hadits, itu sebenarnya hanya untuk penjelas dan penguat sebuah hukum yang menyertainya saja, tidak bisa digunakan untuk mengkhususkan hukum nash tertentu dalam waktu itu saja.
Jadi, apapun sebab turunnya ayat tersebut, tetap saja ayat itu berlaku umum, karena redaksi ayat itu adalah redaksi yg umum. Berlaku kapan pun dan dimana pun. Beginilah para ulama kaum muslimin memuliakan Alquran dan Hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Makna Awliya sudah terang benderang. Apapun makna yg digunakan untuk redaksi “awliya‘”, tetap saja bisa menjadi dalil tentang haramnya mengambil pemimpin kafir bagi kaum muslimin.
Jika “awliya‘” dalam ayat itu bermakna pemimpin, dan inilah yang sesuai dengan pemahaman Amirul Mukminin Umar bin Khottob –rodhiallohu anhu-, maka sudah sangat jelas bahwa ayat itu menegaskan tentang haramnya memilih pemimpin yang kafir.
Yang hal tersebut menjadi point utama kriteria memilih pemimpin menurut islam dan dalilnya
Jika “awliya‘” dalam ayat itu bermakna: teman akrab, atau sekutu, atau pelindung, dst.. maka petunjuk ayat ini dalam mengharamkan tindakan mengambil pemimpin kafir lebih kuat lagi.
Karena jika mengambil teman akrab, atau sekutu, atau pelindung saja Allah haramkan, apalagi menjadikan mereka pemimpin, tentu larangannya menjadi lebih keras lagi.
Karena menjadikan seseorang pemimpin lebih dahsyat pengaruh buruknya bagi kaum muslimin daripada hanya menjadikannya sebagai teman akrab, atau sekutu, atau pelindung. Inilah illat-nya (inti masalahnya), dan hukum itu harus selalu berjalan seiring dengan illat-nya.
Keadilan dalam Negara tidak otomatis membolehkan pemimpin kafir yang (dianggap) adil. Perkataan Ibnu Taimiyah –rohimahulloh– yg menyatakan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin“, bukan berarti beliau membolehkan memilih pemimpin kafir.
Karena konteks perkataan beliau itu hanya berkenaan tentang pengaruh baik keadilan dan pengaruh buruk kezaliman dalam sebuah negara, bukan dalam konteks boleh tidaknya memilih pemimpin kafir.
Jadi, perkataan “keadilan bisa memakmurkan negara“, tidak otomatis bermakna “boleh memilih pemimpin kafir yang adil“. Karena dua masalah ini sangat berbeda dan harusnya dibedakan. Oleh karena itulah, Ibnu Taimiyah di tempat lain dengan jelas mengharamkan memilih pemimpin yang kafir.
4 Kriteria Ideal Memilih Pemimpin Agar Allah Menolong Umat
Al-quran merupakan kitab panduan yang sangat lengkap, sehingga dalam memilih pemimpin pun, umat Islam memiliki panduannya.
KEPEMPINAN merupakan salah satu aspek yang dianggap sangat krusial dalam Islam. Pentingnya kepemimpinan bisa dilihat dari banyaknya ayat dan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini.
Plus pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat. Oleh sebab itu memilih pemimpin dengan kriteria sebagai berikut sangat ditekankan:
1. Muslim: Syarat Mutlak Jika Tinggal di Mayoritas Muslim
Ada beragam dalil yang menyatakan bahwa pemimpin masyarakat muslim haruslah seorang yang beragama Islam (muslim). Meskipun ia dianggap tidak adil oleh masyarakatnya, namun yang demikian lebih baik. Setidaknya terdapat 6 dalil yang menjadi rujukan.
Pertama;
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)
Kedua;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS: An Nisa’ [4]: 144)
Ketiga;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Ma’aidah [5]: 57)
Keempat;
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu menjadi WALI (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
Lima;
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS: Al Mujaadalah [58] : 22)
Enam;
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)
2. Adil: Bukan Menurut Jumlah Suara, Namun Adil Menurut Syariat (Hukum Allah)
Sifat ini perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Sifat adil terhadap siapapun tanpa membeda-bedakan dalam berbagai hal. Tentu definisi “adil” disini perlu diluruskan.
Jika kita mengacu pada bahasan sebelumnya, bahwa nilai nilai di masyarakat dapat berubah sebab pola pola sekular dan liberal. Oleh sebab itu seorang pemimpin haruslah bersikap adil berdasarkan syariat yang telah Allah tentukan. Terkecuali untuk perkara yang memang harus dimusyawarahkan.
contoh kasus:
Apabila ada seorang ibu yang hidup fakir kemudian mencuri 2 bungkus indomie tetangga sebelahnya yang hidup berlebihan. Apakah hal tersebut termasuk mencuri? siapa yang salah atau siapa (saja) yang harusnya mendapatkan hukuman dan apa hukumannya.
Contoh kasus diatas bisa menentukan apakah keputusan seorang pemimpin dapat dikatakan adil atau tidak.
Penegakan keadilan ini pun tidak hanya tajam ke bawah namun juga harus keatas, termasuk dalam hal hukuman mati.
3. Berilmu: Supaya Pemimpin Tidak Mudah Ngambekan
Setiap pemimpin perlu memiliki ilmu pengetahuan dan kapasitas intelektual yang mumpuni. Dimulai dari ilmu agama sebagai yang krusial dan ilmu ilmu lain sebagai pelengkapnya. Dengan tingginya ilmu, maka pemimpin dapat berusaha menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyatnya tanpa mudah emosi ataupun ngambekan.
Kalau sudah demikian mencari solusi terbaik terhadap persoalan-persoalan tersebut akan lebih dimudahkan.
4. Dicintai rakyatnya dan ia pun mencintai rakyatnya
Dari ‘Auf Ibn Malik, berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”
(HR Muslim) – Hadis sahih, diriwayatkan oleh Muslim, hadis no. 3447; Ahmad, hadis no. 22856 dan 22874; al-Darimi, hadis no. 2677.
Bicara mencari pemimpin, memang sulit mencari kriteria diatas. Seperti yang pernah dikatakan Rasulullah ﷺ.
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya,”
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda (diatas).(HR. Ibnu Abi Syaibah) .
…Sayang, akan tiba suatu masa di mana orang yang memiliki ahlak baik tidak lagi memimpin. Sedangkan orang yang senang berbuat mungkar akan memimpin kita. Ia akan selalu menyeru pada kemungkaran, disinilah salah satu tanda bahwa dunia tidak akan bertahan lama.
Sekarang kah masanya?